“Deeeellll....” Ega
berlari memanggilku yang sudah berjalan seribu langkah untuk pulang. Rambutnya
berkibar-kibar ke belakang, karena suara cemprengnya itu memanggilku dengan
volume full stereo, jadilah kami berdua sasaran tiap pasang mata yang ada di
kelas.
“Apaan sih? Yuk buruan pulang.” aku menyikutnya ketika ia
sudah tiba di sampingku.
“Lo jalan cepet banget sih, capek tau.” Ega menggendong
tas ranselnya “Eh omong-omong maaf banget, hari ini gue ga pulang bareng lo
ya.” Ujarnya memasang tampang memelas.
“Kenapa? Ngerjain tugas? Emang kelas kita ada tugas? Atau
gue yang lupa?” tanyaku bagaikan wartawan yang sedang menginterogasi seorang
selebriti yang terkena skandal. Bedanya aku bukanlah wartawan itu, dan Ega
jelas-jelas bukanlah seorang selebriti.
“Bukan, hehehe.... gue diajakin Reza ke toko buku, dia
tau kalo gue maniak buku-buku novel atau fiksi jadi dia minta ditemenin gitu
deh,” jelas Ega, terlihat sekali pipinya merona merah, dan itu membuatku
semakin nafsu untuk meledeknya.
“Hah? Diajak Reza ke toko buku? Reza yang anak kelas
sebelah pake kacamata itu? Lo nge-date sama dia?”sengaja kutinggikan suaraku.
“Ssssttt... ga usah teriak. Jahil banget sih..” wajah
putih Ega semakin memerah karena sontak teman sekelas langsung menatap ke arah
kami dan mulai berkasak-kusuk tentang hal yang baru saja aku katakan “udah
pokoknya hari ini ga pulang bareng ya, jangan ngegosip macem-macem lho.”
Ancamnya, menarikku keluar kelas dan menghimpitku di depan pintu kelas yang
sepi.
“Iya, iya.. udah sana jalan bareng Reza. Good luck ya,
semoga nanti pas pulang gue dapet kabar baik lo udah ga jomblo.” Aku nyengir,
Ega menatapku dengan tatapan bagaikan singa kehilangan mangsanya.
“Berisiiiiikkk.” Ucapnya kemudian berjalan cepat menuju
gerbang sekolah dengan tangan sibuk mengutak-atik ponsel mungilnya.
******
Ternyata sepi juga
ya kalau pulang sekolah sendirian. Batinku ketika berjalan sendirian
sepulang sekolah. Jalan yang aku lewati bisa dibilang merupakan trotoar yang
sudah beralih fungsi menjadi pusat jajanan. Sepanjang hampir 500 m, berdiri
tenda-tenda atau warung-warung kecil yang menjajakan makan atau minuman, tentu
saja hal ini membuat jalan raya menjadi macet dan saluran air tidak lancar
karena banyak pedagang yang membuang sampah seenaknya. Menyebabkan banjir karena ulah sendiri. Gerutuku lagi dalam hati.
Kukipasi diriku sendiri menggunakan tangan, berusaha berjalan cepat namun
sia-sia, sepertinya udara yang sangat panas dan berdebu ini membuat kakiku
melambat.
”Sorry.” Seseorang menubrukku dari arah belakang. Cowo.
Aku hanya menatapnya sambil melongo selama beberapa detik, memperhatikan
seragam SMA-nya yang mengintip dari celah jaketnya yang tak disleting berbeda
denganku. Setelah mengucapkan satu kata itu dia langsung pergi. Membuang
bungkus plastik dari saku jaketnya ke pinggir jalan. Seenaknya. Emosiku
tersulut.
“ Heei.” Teriakku, berhubung aku tak tahu namanya. Cowok
itu menoleh, celingak-celinguk sebentar sebelum sadar akulah yang memanggil. Ia
menatapku bingung.
“Iya, gue yang manggil lo.” Ucapku jutek menjawab
tatapannya kepadaku, karena ia tak menunjukkan reaksi akan menghampiriku, maka
dengan langkah galak aku menghampirinya yang masih terbingung-bingung.
“Kenapa sih?” tanyanya angkuh begitu aku berjarak satu
meter darinya.
“Lo!” aku mengacungkan jari telunjukku tepat di depan
hidungnya. Ia mundur selangkah dengan muka kaget. “Udah nubruk orang cuma
bilang sorry, buang sampah sembarangan, terus sekarang sombong pula.” Lanjutku,
masih dengan emosi yang menggebu-gebu.
“Eh, lo kenapa sih? Dateng-dateng kok emosi?” ucapnya
dengan tampang tak bersahabat.
“Minta maaf dulu yang bener, terus buang tuh sampah.
Buang di tempatnya.” Semburku.
“Gitu doang? Yaudah. Maaf. Puas?” tuntutnya, lalu
berjalan ke belakangku dan membungkuk memungut bungkus plastik yang tadi dia
buang.
“Gitu kek dari tadi.”aku berjalan melewatinya, dan dia ikut berjalan di belakangku. “Lo
ngapain ngikutin gue?” naluri cewek premanku muncul.
“Pede banget lo, rumah gue emang di deket sini.” Kini dia
yang berjalan melewatiku, entah mengapa aku mengikutinya. Rasa penasaranku
memuncak.
“Emang rumah lo dimana? Di komplek ini juga?”
“Pengen tau banget sih, cewe aneh.” Cibirnya, terus
menatap ke depan tanpa memedulikanku.
“Cuma nanya woy.” Kuhentikan langkahku dan kembali
tertinggal di belakangnya. Dan akhirnya selama jalan kami berdua satu arah,
mataku mengawasi di mana ia akan berbelok atau masuk suatu rumah. Aku
penasaran, baru pertama kali aku melihatnya di daerah sini. Cowok itu berbelok,
ke blok perumahan orang-orang elit. Tak terlalu dekat dengan blok rumahku yang
masih harus lurus beberarapa ratus meter lagi. Ya, memang blok yang elit,
hampir semua rumah di sini menghadap langsung ke sebuah bukit rindang nan hijau
yang membuat harga tanah di daerah sini tentunya lebih mahal. Malah dulu aku
pernah berharap memiliki rumah di sini. Untuk menjaga gengsi akhirnya aku
memutuskan tidak mengikutinya lebih lanjut, dan cowok itu tak bergeming menoleh
ke belakang.
******
“Bund....” panggilku ketika Bunda sedang asyik
membolak-balik majalah tanaman hias.
“Hmm....” jawabnya tanpa mengalihkan matanya dari
majalah.
“Emangnya kalo orang-orang yang tinggal di komplek elit
gak pernah keluar ya? Kok aku gak pernah liat mereka?”
“Komplek elit?” kini wajah bunda terlihat karena ia sudah
menurunkan majalahnya dari depan wajah. “Mungkin, mereka kan sibuk. Ada apa?”
bunda lanjut membaca lagi.
“Bukan apa-apa sih, tapi tadi aku ketemu orang yang belum
pernah aku liat, tapi ternyata dia tinggal di komplek elit itu.” Aku beringsut
duduk di sofa, di depan bunda.
“Oh gitu.” Bunda menutup majalahnya, kemudian mengambil
majalah yang baru. Tak ada teman mengobrol, akhirnya aku menyalakan televisi,
menekan-nekan remotenya untuk mencari acara yang menurutku bagus. Dan aku
tertarik kepada acara berita. Berita itu tentang wawancara dengan seorang
pengusaha sukses, bukan topik pembicaraan mereka yang membuatku tertarik.
Melainkan wajah tua namun berwibawa si pengusaha itu. Wajahnya, terlihat begitu
familier. Seperti baru beberapa jam lalu kulihat, namun belum terlalu sering
kulihat. Ah, wajah cowok angkuh itu. Ya. Mereka sangat mirip. Kuteliti lagi
wajah itu, mencoba berpikir masuk akal. Mungkin hanya kebetulan saja. Ku
pindahkan channel berita itu dan menekan-nekan remote lagi.
******
Hari minggu, tentu saja merupakan hari kesukaan semua orang
yang bekerja keras selama satu minggu. Tak terkecuali aku yang masih seorang
pelajar. Hari sengang ini kugunakan untuk mempercantik taman di depan rumah
bersama Bunda. Kami memiliki hobi yang sama, tanaman hias. Rasanya menyenangkan
jika setiap hari melihat tanaman-tanaman hijau yang menyejukkan setiap mata
yang memandang. Tapi aku tak pernah mengerti pola pikir orang-orang yang
menebang atau merusak tumbuhan-tumbuhan dan lingkungan di sekitar mereka hanya
untuk kepentingan semata. Itu sama saja tidak menghargai ciptaan Tuhan Yang
Maha Esa. Padahal bumi dan makhluk hidup diciptakan untuk selalu hidup
berdampingan dan saling menguntungkan.
“Eh kok bengong? Ayo lanjut nyiram tanamannya.” Tegur
Bunda yang melihatku bengong sembari memegang baskom berisi air.
“Hehehehe iya bund...” tak sengaja, dari ekor mataku aku
melihat sosok itu lagi. Cowok angkuh kemarin. Berjalan-jalan dengan santai di
depan gerbang rumahku. Aku tak menyangka aku masih ingat wajahnya, memang tak
aneh jika aku mengingat wajahnya. Kalau boleh jujur, aku mau mengakui bahwa
muka cowok angkuh itu tidak jelek-jelek amat. Garis wajahnya tegas, dengan
kulit berwarna putih yang indah, dihiasi dengan mata agak sipit yang memiliki
bola mata berwarna coklat, ditambah hidung mancung yang tipis, dan dibingkai
oleh rambut lurus yang dipotong rapi namun sedikit ditata berdiri. Intinya, dia
terlihat.... keren. Merasa diperhatikan, cowok itu menoleh ke arahku secara
tiba-tiba, selama sepersekian detik padangan kami bertemu dan membuatku salah
tingkah sebelum akhirnya dia membuang muka dariku dan melanjutkan
perjalanannya. Aku bengong.
******
Terik matahari yang panas menyengat kulitku, ingin
rasanya aku memakai payung, tapi aku malu. Aku tak mau dikira topeng monyet
yang kabur saat pertunjukkan. Pokoknya Ega harus mengganti biaya sunblock-ku
nanti karena menyuruhku datang ke rumahnya di tengah hari bolong begini.
Seingatku ketika aku masih kecil, sepanas-panasnya tengah hari bolong tidak
sampai membuat ubun-ubun rasanya mau meleh begini. inilah ulah tangan-tangan
tak bertanggung jawab, tanpa mereka ketahui perbuatan mereka telah membuat
kondisi alam kian buruk, bencana dimana-mana, belum lagi pemanasan global yang
membuat suhu bumi meningkat.
“Cewek
aneh,” sebuah suara cowok menyapa gendang telingaku. Refleks aku menoleh ke
belakang, kanan dan kiri. Tapi tak ada siapapun yang kulihat, kecuali.... cowok
itu. Astaga, cowok itu lagi. Kenapa frekuensi bertemu dia menjadi semakin
sering. Tak ada siapa-siapa di jalan panas ini selain aku dan dia, tentu
kalimatnya barusan itu ditunjukkan kepadaku.
“Apa?”
Tanyaku memastikan maksud perkataannya tadi, lalu berjalan menuju dinding
tinggi yang bisa menghalangiku dari sinar matahari yang ganas. Cowok itu tepat
di depanku, duduk santai di atas sebuah kursi panjang sebuah pos.
“Lo
aneh. Ngomong sendiri.” Cowok itu tertawa mengejek, namun matanya tetap tertuju
ke handphonenya. Mukaku memerah, aku sama sekali tidak sadar bila aku melakukan
apa yang baru saja ia tertawakan.
“Hah?”
aku gelagapan, mukaku yang sudah merah karena panas menjadi semakin merah
menahan malu. “Lo salah liat. Gue lagi nyanyi-nyanyi.” Kilahku.
“Gak
usah alibi gitu kali, udah jelas ketauan kok.” Dia tertawa lagi, kini
mendongakkan wajahnya menatapku, aku melihat mata coklatnya.
“
Lo ngapain sih di sini?” mengalihkan perhatian, aku memasang muka tebal. Super
duper tebal.
“Ini
kan rumah gue, ya gue mau ngapain aja bebas kali.” Jawabnya enteng, masih
menatapku.
“Rumah
lo?” aku menatap bingung bangunan kecil tempat ia duduk, bangunan 2x2 meter itu
tak mungkin bisa dijadikan tempat tinggal.
“Anehnya
keluar kan, rumah gue yang di belakang lo itu, ini pos satpam yang jagain rumah
gue.” Bibirnya tertarik ke samping, melihat aku menoleh ke belakang dan
terkaget-kaget mengetahui rumahnya, atau bagiku ini seperti istana. Mewah dan
besar.
“Wow.”
Hanya itu yang ada di otakku, membuat bibirnya kembali tertarik,
menertawakanku.
“Lo
harus liat ekspresi lo. Udah kaya anak kecil yang baru pertama kali diajak ke
kebun binatang terus ngeliat binatang yang aneh-aneh.” Ledeknya, kini tawanya
memamerkan deretan giginya yang putih dan rapi.
“Iya,
dan lo binatangnya.” Ketusku. Namun nada bicaraku tak bisa sejutek tadi, kuakui
aku terpesona oleh penampilannya.
“Aneh..
aneh...” cowok itu masih tetap tertawa, bahkan ia memegangi perutnya, seakan
aku adalah pelawak yang sudah mengatakan hal lucu di depannya.
“Nama
gue bukan Aneh.” Bentakku kesal. Aku masih berdiri didepan dinding tinggi itu, memberanikan
diri menatap cowok angkuh yang menyebalkan sedang menertawakan eksresiku.
“Oke,
oke. Nama lo siapa?” dia mendekat, dan jantungku berdetak kencang seakan ingin
terlepas.
“Delly..
lo?” jawabku, dan langsung menyesali gerakanku yang mengulurkan tangan
kepadanya.
“Dewa.”
Tak kusangka ia menyambut uluran tanganku, dan tersenyum tulus.
“Oh..
hmm...” bodohnya aku, baru kali ini aku merasakan salah tingkah yang segini
parahnya. Getaran singkat dari handphone-ku membuatku melupakan sikap bodohku
untuk sementara. Satu missed call, dan ternyata dari Ega. Aku hampir lupa
tujuan awalku. sekarang terasa berat untuk menepati janji ke rumah Ega dan berpamitan
dengan cowok itu, eh Dewa. “Hmm... sorry Wa, gue ada urusan. Pergi dulu ya.” Aku menjejalkan handphone-ku
ke saku celana, sedikit melirik Dewa melalui bulu mataku.
“Oh
oke, bye. Nice to meet you.” Ujarnya melambaikan tangan kepadaku kemudian masuk
melewati gerbang rumahnya.
“Eh,
Oh.. me too” sikap sombongnya muncul lagi. Teringat dengan niat awalku, aku
langsung angkat kaki dari depan rumah Dewa dan berlari menuju rumah Ega.
******
“Kok
lama banget? Lu kecebur di selokan dulu?” gerutu Ega begitu menyambutku di
depan rumahnya.
Aku
merengut “Yee, salah sendiri nyuruh orang dateng ke rumah siang bolong gini.
Panas banget tau.”
“Iya,
iya.. yaudah ayo masuk, nanti gue nyalain AC di kamar gue,” Ega membuka pintu,
menyuruhku masuk ke kamarnya yang mungil, namun tetap rapi dan berkesan cerah
karena dinding yang berwarna ungu muda.
“Ga
usah ah, nyalain AC tuh salah satu yang bikin pemanasan global tau, nanti
lapisan ozonnya bolong-bolong. Fungsi lapisan ozon kan biar sinar matahari gak
terlalu menyengat ke bumi. Nah, suhu bumi yang naik itu salah satu akibat dari
pemanasan global.” Aku masuk ke dalam kamar dengan santai, mengipasi diriku
sendiri dengan tangan.
“Oke
oke Nona Pecinta Lingkungan. Gue buka lebar-lebar aja jendelanya ya.” Ega
memutar bola matanya, lalu berjalan menghampiri jendela kaca di seberang kamar
dan membukanya dengan lebar.
“Trims,”
aku duduk di tepi tempat tidur, membolak-balik halaman majalah yang terbuka di
dekat situ. “Eh iya, lu kenal anak cowo di komplek sini yang namanya Dewa?”
tanyaku sambil tetap menatap halaman-halaman majalah.
“Dewa?
Kaya pernah denger. Kenapa?” Ega duduk di sampingku, bisa kurasakan bagian
kasur di sampingku sedikit menurun karena beban tubuh.
“Nanya
aja, kok gue gak pernah kenal ya.” Jawabku, kini mendongak ke arah Ega dan
mendapati dia sedang melahap potongan besar coklat kesukaannya.
“Lho?
Kalo belum pernah kenal kenapa tadi nanyain dia?” kening Ega berkerut samar.
“Gue
kenal tadi pas pulang sekolah, gue liat dia buang sampah sembarangan jadi gue
omelin. Terus kenalan namanya pas tadi di jalan mau ke sini.” Jelasku, berusaha
terdengar wajar. Dan untungnya Ega tidak curiga.
“Oh
gitu, eh tunggu dulu, gue ambilin lu minum ya.” pembicaraan selesai. Padahal
aku sedikit ingin mendengar tentang Dewa. Mungkin Ega tahu lebih banyak karena
dia tinggal di daerah sini lebih dahulu dibanding aku. Tapi ya sudahlah.
******
Aku
hanya bisa tercengang menatap papan berita itu, di pintu gerbang komplek-ku ada
papan berita yang berukuran 2x1 meter yang berdiri tegak di samping pos jaga.
Di situ tertempel koran-koran ataupun artikel, mulai dari lowongan kerja,
gosip, atau artikel yang sekarang membuatku tercengang. Pembalakan liar semakin
marak terjadi di Kalimantan dan Sumatera. Di daerah-daerah yang masih terdapat
hutan nan subur. entah apa yang dipikirkan orang-orang itu, menebang pohon
dengan seenaknya. Apakah mereka tak pernah memikirkan bagaimana nasib makhluk
hidup yang terkena dampak bila habitat mereka yaitu hutan di rusak? Tanpa sadar
aku mengepalkan telapak tanganku, dan mataku mulai berkaca-kaca.
“Anehnya
muncul lagi,” ucap seorang laki-laki dari belakangku, samar-samar aku bisa
mengenali suara itu. Aku memutar kepalaku, menghadap cowok yang sudah berada di
belakangku ini dengan misterius.
“Dewa?”
aku terperanjat. Setelah mengamati perubahan ekspresi wajah Dewa yang tadinya
mengejek menjadi iba aku baru sadar bahwa mataku masih berkaca-kaca. Buru-buru
aku mengelap mataku dengan lengan bajuku.
“Lu
kenapa?” Dewa bingung, memalingkan pandangannya ke artikel yang sejak tadi
kubaca, raut wajahnya berubah, seperti mengerti. “Oh, gue ngerti. Ya ampun lu
sampe segitunya.”
“Kita
hidup di bumi taum jelas aja gue sedih kalo bumi dirusak pelan-pelan sama
manusia, ga bersyukur tau gak.” Semburku, lebih jutek dibanding yang aku kira.
“Iya,
iya damai.” Dewa menenangkanku yang masih cemberut, lalu ia berpikir sebentar
“Gimana kalo lu ikut gue aja?” tawarnya dengan wajah ceria.
“Ikut
lu? Kemana? ah nanti gue diculik,” aku merasa aneh diajak pergi oleh Dewa, kami
baru kenal beberapa hari lalu.
“Takut
banget sama gue, gak jauh kok. Cuma jalan kaki 20 menit, tapi ada yang harus
kita beli. Yuk, sebelum kesorean.” Ajak Dewa lagi, kini dengan nada mendesak.
“Tapi
gue masih pake baju sekolah, ganti baju dulu.” Protesku.
“Ah
lama,” Dewa langsung menyambar tali tas selempangku, kemudian menarikku hingga
mengikuti langkahnya. Aku mencoba berteriak protes, namun sadar protesku hanya
sia-sia atau mungkin membuat orang lain salah paham dan membuat urusan
bertambah rumit. Akhirnya aku diam, mengikuti Dewa kemanapun ia menarikku. Dia
membeli beberapa bibit pohon siap tanam, tanaman-tanaman kecil itu ia masukkan
ke dalam kantong plastik hitam besar kemudian membeli pupuk. Setelah itu ia
menarikku menaiki bukit di dekat komplek, meskipun menanjak ia tetap menarikku
dengan kekuatan yang sama, padahal aku tak mungkin kabur. “Pegang nih,” ia
menghadapku, memberikanku sekantung plastik hitam yang berisi pupuk. Dewa
melanjutkan perjalanan dengan satu tangan menarik tali tasku dan sat tangan
menenteng kantung plastik hitam berisi bibit pohon.
Sampailah
kami di sisi bukit yang gersang setelah mendaki selama 15 menit. Sisi bukit ini
kering, panas, dan sedikit sekali tanaman yang tumbuh di sini, hal itu membuat
tanahnya menjadi berdebu.
“Gue
baru ngeliat bagian ini,” kataku termenung melihat pemandangan yang terhampar
di depanku.
“Payah,
lu cinta bumi tapi kok ga pernah merhatiin yang ada di sekitar.” Cemooh Dewa,
aku melotot ke arahnya. “Yaudah kalo gitu daripada lu ngegalauin pohon-pohon
dan keadaan di Kalimantan, Sumatera atau tempat jauh lainnya, mending bantuin
gue tanem bibit-bibit pohon di sini buat penghijauan.” Ujar Dewa, mengeluarkan
bibit pohon dan pupuk satu-persatu dari kantungnya. Aku hanya bisa menatapnya
tak percaya.
“Mau
nyelamatin bumi ga?” tegur Dewa yang mulai mencangkul tanah dengan cangkul yang
ia pinjam dari penduduk dekat bukit.
“Oh,
iya iya” aku mengambil bibit pohon, menanamnya di tanah yang telah dicangkul
oleh Dewa kemudian menyiramnya dengan air minumku dan memberinya pupuk.
Kami
melakukna kegiatan itu hingga bibit pohon yang kami beli sudah tertanam semua
dan hari sudah gelap. Aku melihat telapak tanganku yang lecet-lecet, begitu
juga dengan tangan Dewa dan celananya yang kotor oleh tanah.
“Thank
you Wa.” Ucapku ketika kami berjalan berdua menuruni bukit. Dewa tidak lagi
menarik tali tasku, satu tangannya membawa jaketnya dan tangan yang lain bebas.
Cangkulnya sudah kami kembalikan.
“Untuk?”
tanyanya polos
“Ya..
untuk tadi, penghijauan di bukit gersang itu,”
“Ooh..
oke sama-sama, gak galau lagi kan?” ledeknya
“Hahaha
gak kok,” Aku meninju bahunya pelan. Aku tak menyangka seorang Dewa yang
ekonomi keluarganya lebih dari cukup juga memikirkan tentang lingkungan.
******
Suara
gemuruh di tanah jalanan yang kulalui setiap pulang sekolah membuatku kaget
sekaligus panik. Ada apa ini? Gempa? Gunung meletus? Aku melihat ke kanan dan
kiriku, tak ada siapapun, suasana sepi, dan bagiku sangat mencekam. Kupercepat
langkah menuju rumah, begitu sampai aku langsung membuka gerbang dan masuk
menghambur ke arah Bunda yang sedang berdiri menatap jendela ke arah luar.
“Ada
apa Bund?” tanyaku melempar tas ke sofa dan ikut melihat ke arah yang dilihat
Bunda. Bukit belakang komplek.
“Eh,
Delly udah pulang.” Bunda sedikit terperanjat melihat kedatanganku di
sampingnya “Itu mobil-mobil proyek pada lewat di blok D, suaranya udah kaya
gempa.” Jelas Bunda, kembali melihat lagi ke arah bukit itu.
Ternyata
suara gemuruh itu berasal dari mobil proyek, sepertinya mobil besar. Tapi
proyek apa? di komplek ini? “Proyek apa Bund?” aku sedikit menggeser Bunda,
ingin melihat lebih banyak apa yang terjadi dengan bukit itu.
“Lho?
Kamu belum tau? Bunda denger dari orang-orang kalo ada proyek pengusaha yang
mau bangun gedung di bukit itu, jadi bukit itu ditebang semua pohonnya,”
penjelasan Bunda membuat mataku hampir keluar.
“Apa?
siapa yang ngasih perintah buat ngelakuin itu Bund?” tanganku mengepal, rasanya
gatal ingin meninju siapapun yang terlibat di balik semua ini.
“Bunda
kurang tau namanya, tapi dia emang udah beli tanah bukit itu.” Bunda menepuk
bahuku kemudian berjalan menuju dapur, terlihat tidak shock. Tidak seperti aku.
Aku menelepon Ega dan memintanya datang ke rumahku, setidaknya aku butuh teman
bercerita untuk menghadapi rasa shock. Sekilas aku melihat mobil proyek itu
lagi yang berwarna kuning dan hijau. 3 buah yang berjalan melewati rumahku
dengan beriringan, dan karena penasaran siapakah bos mereka, akupun keluar
rumah dan dengan sedikit berlari mengikuti mobil-mobil itu.
Sekitar
hampir 10 menit mengikuti mobil-mobil proyek itu, aku yang ditemani Ega begitu
melihatnya berlari ke arah rumah kemudian langsung menyuruhnya diam dan ikut
akhirnya bisa melihat mobil-mobil itu berhenti di depan sebuah rumah. Ada mobil
pengeruk tanah atau excavator,
penebang pohon atau feller buncher
dan mobil-mobil besar lainnya. Aku bersembunyi di balik mobil proyek yang di
parkir di barisan paling belakang. Para sopir mobil itu turun lalu terlihat
sedang berbicara dengan seorang pria yang kira-kira berumur 50 tahunan,
berstelan jas rapi, meskipun wajahnya sudah terlihat tua namun memancarkan
wibawa dan ambisi khas pengusaha. Tunggu, sepertinya aku tahu siapa pria
pengusaha itu. Oh, dia adalah pengusaha yang dulu aku lihat di berita televisi.
Dan, oh... rumah ini... rasanya aku mau pingsan begitu mendongak dan melihat
dinding rumah mewah dan cerah itu. Rumah Dewa.
“Lho?
Rumah inikan rumah Dewa, jadi Dewa yang lu tanyain ke gue waktu itu adalah Dewa
Dirgantara? Anaknya Reyhan Dirgantara?” ujar Ega yang kutarik sejak tadi dan
bersembunyi di balik punggungku.
“Anaknya
Reyhan Dirgantara? Siapa tuh?” bisikku pada Ega, masih agak membungkuk
bersembunyi.
“Ya
bapak-bapak yang lagi pada ngobrol sama sopir-sopir ini, dia bokapnya Dewa.
Pengusaha sukses. Gue cuma kenal bokapnya, Pak Reyhan.” Jelas Ega dengan wajah
polos tapi terasa meninju perutku. Jadi, pria ini? Yang aku pikir hanya
kebetulan mirip dengan Dewa adalah Ayahnya? Rasa shock-ku bertambah dua kali
lipat. Tidak, tiga kali lipat. Rasa dingin menjalari punggungku, dan tubuhku
menegang begitu melihat seorang cowok yang berjalan keluar sambil menunduk
melewati pria-pria yang sedang mengobrol itu. Dewa.
“Del,
itu yang namanya Dewa bukan? Gue belum pernah ngeliat dia sebelumnya tapi dia
mirip banget sama pengusaha itu.” Ega mengguncangkan bahuku, tapi aku tak
merespon kata-katanya. Begitu Dewa berjalan melewati tempatku dan Ega
bersembunyi aku langsung menariknya dan menjauhinya dari tempat itu. Dewa
kaget, begitu juga dengan Ega.
“Delly?
Ada apa?” tanyanya kaget ditarik begitu kuatnya olehku.
“Ada
apa? lo masih tanya ada apa? bukit belakang komplek dibangun buat gedung-gedung
pengusaha. Pengusaha yang gak pernah mikirin tempat di mana dia tinggal, tempat
yang menampung hidupnya juga. Dan pengusaha itu adalah bokap lo! Bukit itu juga
alam yang harus dilestarikan!” teriakku di depan Dewa begitu sudah menariknya
jauh dari depan rumah.
“Dari
mana lo tau pengusaha itu bokap gue?” tanya Dewa, frustasi tergambar jelas di
ekspresi wajahnya.
“Sorry,
dia tau dari gue,” jawab Ega dengan pelan, kami mengabaikannya.
“Bokap
lo ngerusak bukit, ngerusak alam. Dan lo ngebiarin dia gitu aja?” kudorong Dewa
hingga ia mundur beberapa langkah. Emosi membuatku berontak dan tidak sabaran.
“Asal
lo tau Del, gue udah coba cegah dia. Gue udah kasih tau dia, ga perlu ngerusak
alam cuma buat dirinya sendiri dan rekan-rekannya untung.” Dewa menjelaskan,
tapi penjelasan itu sama sekali tidak masuk ke kupingku.
“Lo
lemah, lo harusnya bisa cegah bokap lo sendiri.” Bentakku, Ega menarik-narik
lengan bajuku mencoba menenangkan. Dewa terdiam, kemudian terdengar suara
ledakan yang membuat jantungku seakan keluar dari rongga dada dan bulu kudukku
merinding. Bukit itu, bukit hijau itu barusan telah diledakkan untuk ditebang
pohon-pohonnya dan memulai penggalian. Tanpa di komando aku langsung berlari
menuju pengusaha itu, berharap bisa menghentikan. Namun ia sudah tak di sana,
hanya beberapa para sopir dan penjaga di sana yang langsung menahanku dengan
tangan-tangan mereka yang besar dan berotot, sama sekali membuatku tidak bisa
bergerak. “Lepas! Kalian gak boleh ngelanjutin proyek ini! Gak boleh! Alam gak
boleh dirusak, harus dijaga! Atau kalian nanti kena akibat perbuatan kalian!”
teriakku, berontak tanpa hasil di antara tangan-tangan besar itu.
“Pergi
kamu! Jangan di sini!” bentak salah satu sopir yang berbadan besar dan
berkumis, mendorong badanku mundur dengan hentakkan tangannya.
“Dell,
udah Dell.. ayo balik.” Ucap Ega menangkapku saat aku hampir terjungkal ke
belakang.
“Kalian
manusia gak bersyukur. Tuhan akan membalas perbuatan kalian karena udah
ngerusak alam ciptaan-Nya.” Umpatku, air mata mulai merebak di pelupuk mataku.
Terdengar lagi suara ledakan yang lebih besar, dan bisa kulihat pohon-pohon dan
tanah itu menyembur berceceran. Akupun berbalik, berjalan goyah dengan dipapah
oleh Ega, sekilas aku melirik tajam ke arah Dewa yang diam menunduk di depan
pos jaga rumahnya. Matanya memancarkan penyesalan dan tak keberdayaan, tapi aku
tak peduli. Kupunggungi rumah mewah itu dan berbalik pulang bersama Ega.
******
“Delly....
Delly, bangun...” sayup-sayup kudengar suara Bunda di dekat telingaku, tubuhku
mengirim sinyal bahwa hari masih terlalu pagi dan membuat mataku tidak mudah
untuk dibuka. “Delly...” panggil Bunda lagi dengan nada panik.
“Hmm...”
aku terbangun, mengerjapkan mata untuk menjelas penglihatan. Udara dini hari
yang dingin menusukku dan kulihat Bunda menunduk di depanku. Terlihat panik dan
sudah rapi berpakaian “Kenapa Bund?” tanyaku, bangkit duduk di atas tempat
tidur.
“Kita
harus ngungsi, komplek kena banjir karena hujan deras tadi malam,” jelas Bunda
dengan terburu-buru dan bolak-balik mengambil kemudian memasukkan pakaianku
dari lemari ke koper.
“Apa?”
hanya itu reaksi yang mampu diberikan otakku saat baru bangun tidur seperti
ini.
“Udah
ayo cepetan keluar rumah,” jawab Bunda dan langsung menarikku turun dari tempat
tidur menuju pintu keluar, aku mengikutinya meskipun pikiranku belum sepenuhnya
menguraikan apa yang sedang terjadi. Barulah ketika menginjak halaman rumah
otakku bekerja begitu melihat pemandangan di depan mataku. Air mulai
menggenangi jalanan komplek hampir setinggi lututku, beberapa orang termasuk
aku, Bunda dan tetanggaku sibuk membawa barang bawaan mereka untuk mengungsi
padahal di daerah sini tidak pernah terjadi banjir sebelumnya. Aku menelusuri
dari mana air berwarna kecoklatan itu berasal, dan akhirnya aku tahu asal
muasal air kotor coklat yang terkadang membawa batang-batang pohon atau ranting
itu berasal dari sisa-sisa bukit belakang komplek yang beberapa hari yang lalu
di gali dan di rusak. Sepertinya volume air hujan tak bisa lagi diserap oleh
bukit yang kini tinggal seperempat dan sudah gundul itu.
“Bund,
kita mau ngungsi kemana?” tanyaku pada Bunda yang menuntun tanganku melewati
banjir. Ternyata komplek elit dan perumahan Ega juga tak luput dari aliran air
banjir ini.
“Ke
komplek atas dulu aja buat sementara, di sana kan ada rumah Bibi yang gak kena
banjir,” jawab Bunda, tengah sibuk menyelamatkan bajunya agar tidak terendam
banjir.
“Ooh..”
gumamku, melambaikan tangan saat melihat Ega juga yang sibuk mengungsi bersama
orang tuanya. Keadaan semakin parah setelah melewati perumahan Ega, terutama
komplek elit yang tak hanya terkena air banjir namun juga terkena serbuan tanah
dan lumpur.
“Ya
ampun, komplek ini kena longsor.” Ujar Bunda memperhatikan rumah-rumah mewah
yang sudah dihantam tanah lumpur di kanan-kiri kami.
“Mereka
kan lebih dekat sama bukit yang di gali itu Bund, jadi langsung kena longsoran
tanahnya.” Timpalku, secara tak sengaja melihat rumah mewah Dewa, dan ayahnya
sang pengusaha yang harusnya bertanggung jawab atas proyek merusak alamnya.
Rumah Dewa benar-benar tertutup tanah, aku bisa saja tidak mengenalinya jika
tidak ingat rumah ini berada tepat di depan bukit yang tinggal seperempat itu.
Kuperhatikan rumah itu baik-baik, tak ada tanda-tanda sudah mengungsi ataupu
bersiap mengungsi, tak terlihat siapapun. Begitu juga saat tiba di pengungsian,
aku sama sekali tidak melihat Dewa atau Ayahnya. Aku tidak pernah lagi melihat
mereka.
SELESAI
Comments
Post a Comment